1. Kelahiran Arung Palakka
Arung Palakka lahir di desa Lamatta Kec. Mario Riwawo Kab. Soppeng pada tahun 1635. Ayahnya
bernama La Pottobune, Arung Tana Tengnga dan Datu Lompulle. Ibunya bernama We
Tenrisui, Datu Mario Riwawo (Abdurrazak Daeng Patunru, dalam A. Sultan Kasim:
2002:68). Berdasarkan
garis keturunan dari ibu Arung Palakka
merupakan Pangerang Bone, ibunya We Tenrisui merupakan puteri Raja Bone ke-XII, La
Tenrirua Sultan Adam Matinroe Ribantaeng. Hal tersebut menunjukkan kalau
Arung Palakka juga berhak atas tahta kerajaan Bone. Sebab Menurut tradisi Kerajaan Bone bahwa yang berhak menjadi raja di Palakka,
berhak pula menjadi raja di Bone, namun perlu di garis bawahi bahwa tidak semua Raja Bone pernah menjadi raja di Palakka.
Arung Palakka memiliki gelar yang cukup banyak, sehingga apabila namanya dirangkaikan dengan gelar-gelarnya akan menjadi sangat panjang. Nama kecilnya La
Tenritata Towappatunru, artinya tak dapat dibatasi kemauannya dan orang yang
menundukkan (Sang Penakluk). Gelarnya sebagai Raja Palili
di Soppeng “Datu Mario Riwawo”, diberikan oleh ibunya. semasa dalam pengasingan di Gowa, nama panggilannya Daeng Serang.
Arung Palakka artinya raja di
Palakka. Latenritata dinobatkan oleh Hadat Tujuh Bone (Walli Pitue) menjadi
raja di Palakka pada tahun 1660, seusai berkonsultasi dengan Jennang Tobala
untuk melakukan perlawanan terhadap Gowa. Nama julukannya yang terkenal
dikalangan masyarakat Bone ialah “ Malampee Gemmekna Petta Torisompae”, artinya
yang panjang rambutnya dan raja yang disembah. Nama Islamnya Sultan Saaduddin.
Nama anumertanya Matinroe ri Bontoala. Jadi nama lengkapnya “La tenritata
Towappatunru Daeng Serang Datu Mario Riwawo Arung Palakka Malampee Gemmekna
Petta Tori sompae Matinroe ri Bontoala”. (A. Sultan Kasim: 2002:69-70)
Ketika berumur delapan tahun, Bone
diperangi Gowa dan berhasil ditaklukkan. Sejak berumur 11 tahun Arung Palakka
dan keluarganya dibawa sebagai sandera ke Istana Gowa. Mereka beruntung karena
menjadi pelayan Karaeng Pattinggaloang, tokoh penting dan jenius di Kerajaan
Gowa. Di bawah asuhannya, Arung Palakka tumbuh menjadi pangerang yang
mengesankan dalam olah otak maupun olahraga. Bahkan karena kelebihan yang
dimiliki dan kedekatannya dengan Karaeng Karungnrung sebagai Mangkubumi
Kerajaan Gowa (1654), Arung Palakka yang saat itu telah berusia 25 tahun sering
ditugaskan sebagai tentara pengawal Mangkubumi, dalam tugas ini banyak pula
bergaul dengan pemuda-pemuda bangsawan Gowa. (La Side, 1968:80).
2. Pembebasan Kerajaan Bone dan Soppeng Oleh Arung Palakka
Perlawanan
rakyat atau Kerajaan Bone terhadap Kerajaan Gowa dapat dibagi atas 2
(dua) periode, yaitu pada tahun 1660 dan pada tahun 1666. Pertempuran antara
dua kerajaan bersaudara yang dipelopori oleh Arung Palakka tersebut tercatat
sebagai perang terbesar dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan
abad ke-17.
Perlawanan Kerajaan Bone dan
sekutunya terhadap Kerajaan Gowa dan sekutunya tersebut bukanlah tanpa sebab. Menurut
A. Sultan Kasim (2002:73), Menerangkan bahwa:
Penyebab
perlawanan rakyat Bone dan Soppeng dibawah komando Arung Palakka adalah sebagai
berikut:
1. Penaklukan Gowa atas Bone dan Soppeng selama setengah
abad lebih (1611-1667) memberikan penderitaan sosia-kultural yang dialami
rakyat Bone dan Soppeng sebagai rakyat jajahan.
2. Perlakuan sewenang-wenang dan penghinaan atas diri
tawanan perang Bone dan Soppeng oleh Mangkubumi Gowa, Karaeng Karungnrung dan
raja Gowa, Sultan Hasanuddin
3. Munculnya tokoh yang sangat pemberani lagi gagah
perkasa, yang mendapat dukungan dari rakyat Bone dan Soppeng, yaitu Arung
Palakka.
Adapun
Penyebabnya secara khusus adalah adanya pengerahan tenaga kerja paksa (rodi)
rakyat Bone-Soppeng dalam rangka perampungan pembangunan benteng-benteng
pertahanan Gowa (1660).
Penjelasan lebih lanjut, bahwa sebab
khusus dari perlawanan ini antara lain penggunaan tenaga-tenaga rakayat Bone
dan daerah sekitarnya sebanyak 10.000 orang yang dipekerjakan untuk perampungan
pembuatan benteng-benteng dengan sistem kerja paksa.
Tentang pengerahan tenaga kerja paksa rakyat
Bone-Soppeng ini, oleh Panitia Khusus Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan
Tenggara dalam buku “Sejarah Bone” (1968: 127) diuraikan sebagai berikut:
“ Pada pertengahan
tahun 1660 Jennang Tobala mendapat perintah dari Karungnrung untuk mengumpulkan
10.000 laki-laki untuk ke Gowa menggali parit dan membangun kubu-kubu
pertahanan di sepanjang pantai sekitar somba Opu. Pada akhir bulan juli tibalah
Arung Tanete dengan membawa 10.000 orang Bone ke Gowa. Masing-Masing dari mereka
membawa bekal, pacul dan linggis. Datu Mario dan tawanan perang Bone yang lain
datang melihat orang senegerinya itu. Datu Mario sendiri sering mengawal
Karaeng Karungnrung bila pergi memeriksa kemajuan pekerjaan membangun parit dan
kubu-kubu pertahanan tersebut.
Perasaan iba
mencuat dalam hati pangeran ketika melihat penderitaan senegerinya. Mereka
bekerja dari pagi sampai petang dan celakanya bagi yang dianggap malas mereka
didera dengan cambuk oleh mandor-mandor yang tak kenal perikemanusiaan. Bagi yang
dikhawatirkan akan membangkan kakinya dipasung. Banyak Pula diantara para tawanan tersebut
melarikan diri beberapa diantaranya berhasil meloloskan diri dari kejaran
punggawa kerajaan Gowa dan sebagian lainnya berhasil tertangkap. Pada
suatu hari di awal bulan september 1660 Datu Mario pulang dari pekerjaan
menggali parit. Didapatinya ayahnya telah tiada lagi, beliau telah dibunuh pada
hari itu dengan ngeri, karena ia mengamuk dihadapan Sri Sultan, hal ini disebabkan
tersulut emosi, melihat beberapa orang Bone disiksa. Mereka yang disiksa adalah
adalah pelarian dari tempat penggalian parit yang berhasil ditangkap kembali
oleh punggawa Gowa”. (La Side, 1968:84) .
Peristiwa tersebut di atas telah membakar jiwa dan
semangat patriotik massa rakyat Bone dan Soppeng, baik tawanan perang maupun
pekerja paksa Bone-Soppeng di Somba Opu serta rakyat Bone di daerah Bone di
bawah Tobala.
Demi menegakkan harga diri dan martabat rakyat dan
bangsawan Bone-Soppeng yang telah dikoyak-koyak oleh para panguasa di Kerajaan
Gowa, Rakyat Bone dan Soppeng (baik Tawanan Perang, Para Pekerja Paksa dan
Pendudk Bone sendiri) dibawah komando Arung Palakka kemudian melakukan
perlawanan terhadap kerajaan Gowa. Setelah melalui perhitungan yang matang dan
mendapatkan momen yang tepat, maka kesempatan yang ditunggu untuk memulai
perlawanan kembali terhadap kerajaan Gowa akhirnya datang juga. Momentum yang
dimaksudkan yaitu pada bulan september 1660 para petinggi kerajaan gowa
melakukan pestapora di Tallo, sehingga penjagaan terhadap para tawanan perang
Bone-Soppeng tidak diperhatikan lagi. Momentum yang tepat itu dimamfaatkan
sebaik-baiknya oleh Arung Palakka untuk melanjutkan perjuangan merebut
kemerdekaan Bone-Soppeng dari Gowa. Dalam sekejap mata ramailah tong-tong
bersahut-sahutan sepanjang beberapa kilo meter di tepi pantai itu. Itulah tanda
pemberontakan, perjuangan besar, pembebasan, dan kemerdekaan telah dimulai.
Para pekerja segera mengeroyok mandur-mandurnya, memukul dengan linggis dan
pikulan.” (La Side, 1968:84) .
Peristiwa tersebut menunjukkan
meletusnya kembali perlawanan Bone dan Soppeng terhadap Gowa. Dengan aba-aba
memukul kentongan, para tawan perang Bone-Soppeng dan para kekerja paksa
tersebut segera berkumpul di Bontoala (Kediaman Arung Palakka), dimana mereka
mendapat perintah untuk segera berangkat ke Bone dan empat hari kemudian mereka
harus ketemu kembali di Lamuru Bone. Setelah empat hari sesuai dengan
yang direncanakan sebelumnya, maka mereka bertemu di Lamuru dan segera Arung
Palakka mengirim kurir kilat kepada Jennang Tobala dan Datu Soppeng untuk
melaporkan peristiwa besar itu dan mengajak untuk mengadakan pertemuan di
Attapang dekat Mampu (Nama Daerah di Bone), untuk membicarakan hal selanjutnya.
(La Side, 1971:58)
Pada saat bertemu dengan Datu
Soppeng, La Tenribali untuk meminta doa restu dan bekal materil, yang rencanya
akan digunakan sebagai bekal dalam perjuangan selanjutnya menuju Batavia guna
mendapatkan bantuan dari VOC (Belanda). Maka pada tanggal 25 Desember 1660,
bersama dengan pengikut-pengikutnya Arung Palakka kemudian meninggalkan Bone
dengan menyeberang ke Buton untuk menjalin persekutuan. (Patahuddin,2009:38)
(Sehingga rakyat Buton dan Bone Memiliki ikatan emosional persaudaraan hingga
saat ini.)
Setelah tiga tahun berada di Buton
yaitu tahun 1663, Arung Palakka dan pengikut-pengikutnya yang setia menuju ke
Batavia guna menjalin persekutuan dengan VOC guna menyerang kerajaan Gowa.
Akhirnya setelah melalui proses yang panjang, maka pada bulan Desember
1666 Armada VOC berlayar meninggalkan Batavia untuk menyerang Gowa. Dalam
peperangan antara Gowa melawan VOC yang dibantu oleh Arung Palakka tahun 1667
itu menyebabkan kerajaan Gowa mengalami kekalahan, yang diakhiri dengan
penandatangan Perjanjian Bungaya 18 November 1667. (Patahuddin,2009:39)
Setelah kekalahan Gowa yang ditandai
dengan ditandatanganinya Perjanjian Bungaya 18 November 1667, maka sejak saat
Bone melepaskan diri dari kekuasaan Gowa.
3. Pandangan Orang Bugis dan Orang Makassar Terhadap Arung Palakka
Membahas ketokohan Arung Palakka dalam sejarah, khususnya bagi orang Bugis dan Makassar merupakan suatu hal yang menarik, karena tokoh ini selalu diperhadapkan dan dipertentangkan dengan tokoh lain yaitu Sultan Hasanuddin yang justru telah diterima dan diakui sebagai Pahlawan Nasional. Olehnya itu, sebelum penulis mencoba menarik sebuah kesimpulan tentang dimana posisi Arung Palakka “Pahlawan atau Penghianat” maka ada baiknya terlebih dahulu memperhatikan pandangan-pandangan umum tentang Tokoh ini:
- Pandangan Orang Bugis Terhadap Arung PalakkaDimata orang Bugis khususnya Bone dan Soppeng, Arung Palakka merupakan sosok yang sangat dihargai dan ditempatkan pada posisi yang sangat mulia, yaitu Pahlawan. Alasannya, adalah jiwa patriotik sang Raja yang sangat tinggi terhadap daerahnya sehingga adanya inisiatif untuk memerdekakan rakyatnya dari jajahan kerajaan Gowa. Dan perlu digaris bawahi bahwa di kerajaan Gowa Arung Palakka sangat dihormati bahkan diangkat sebagai pengawal khusus bagi petinggi Kerajaan Gowa. Adapun sikap dan tindakan Arung Palakka dalam memilih jalan kerjasama dengan Kompeni Belanda (VOC), itu dikarenakan jalan tersebut merupakan satu-satunya solusi yang bisa dilakukan.Alasan di atas, sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Taufik Abdullah (1990), bahwa pada waktu itu hanyalah Kompeni Belanda satu-satunya yang dapat diharapkan oleh Arung Palakka untuk segera mewujudkan cita-citanya, membebaskan kerajaan Bone dan Soppeng dari penindasan kerajaan Gowa.
Pandangan Orang Makassar Terhadap Arung Palakka
Berbeda dengan pandangan umum yang ditemukan pada masyarakat Bugis. Dalam pandangan umum orang Makassar, Arung Palakka sering ditemukan pendapat yang nadanya mencemooh bahwa Arung Palakka tidak lain adalah seorang penghianat Bangsa Indonesia. Alasannya adalah Arung Palakka telah menjalin hubungan kerjasama dengan Kompeni Belanda (VOC) dalam menghancurkan perlawanan Sultan Hasanuddin (Raja Gowa XVI) yang kemudian hari diakui oleh pemerintah Republik Indonesia (RI) sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Pemerintah RI tanggal 6 September 1973. (Sagimun, 1985).Berdasarkan dari pandangan kedua kelompok etnis di atas, maka sangatlah sulit menarik sebuah kesimpulan terutama di dalam menentukan posisi Arung Palakka yang merupakan tokoh utama yang diceritakan dalam tulisan ini.Untuk menempatkan Arung Palakka pada posisi yang tepat sesuai dengan sepak terjangnya pada abad ke-17 itu, sangat dibutuhkan sikap yang arif dan bijaksana dengan menempatkan peristiwa itu sesuai dengan jamannya, yaitu:1. Pada abad ke-17 dimana tokoh Arung Palakka muncul dalam sejarah, peperangan yang terjadi antara kerajaan Gowa melawan Bone dan Soppeng masing-masing merupakan kerajaan yang berdaulat, merdeka, dan menjalankan politik pemerintahan sendiri sesuai dengan konteks jamannya. (Perlu digaris bawahi bahwa pada zaman itu setiap kerajaan baik Bone, Soppeng Gowa merupakan Negeri tersendiri sehingga kerajaan yang terjajah memiliki tanggung jawab untuk memerdekakan diri2. Pada abad ke-17 dimana Arung Palakka hidup, sejarah nasionalisme Indonesia seperti yang dihayati sekarang belum ada, nasionalisme Indonesia sendiri nanti muncul pada abad ke-20 ketika Budi Utomo didirikan (1908), dimana rasa nasionalisme mulai tampak dalam bentuk regional dan akhirnya dipertegas dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.Terkait dengan uraian di atas, maka tidaklah tepat jika ada pandangan yang mengatakan, bahwa Arung Palakka merupakan seorang “Penghianat” bangsa Indonesia, karena yang dilakukan tidak lain adalah untuk memerdekakan negeri/ kerajaannya dari penjajahan kerajaan Gowa. Terlepas apakah ia menjalin kerjasama dengan Kompeni Belanda (VOC).4. Posisi yang tepat untuk Arung Palakka “Pahlawan atau Penghianat”.....???
Tidaklah mudah untuk menempatkan Arung Palakka sebagai seorang Pahlawan Nasional, karena Sultan Hasanuddin sendiri telah terlebih dahulu diangkat menjadi salah satu Pahlawan Nasional sedangkan Arung Palakka sering diperhadapkan dengan kenyataan bahwa dia merupakan musuh utama Sultan Hasanuddin terlebih setelah kerjasamanya dengan VOC.Apapun label yang diberikan oleh Negara terhadapnya, Arung Palakka tetaplah Merupakan “PAHLAWAN” bagi rakyatnya (Soppeng dan Bone).
0 komentar:
Posting Komentar